Pages

Minggu, 27 Maret 2011

FC. Bajakan

CIA meninjau ulang rencana penyerangan ke Indonesia…….
OPINI | 27 March 2011 | 01:13 245 10



2 dari 3 Kompasianer menilai menarik

Kepada Yth.
Kepala Staf Gabungan
Jenderal Richard Myers
Tembusan: Direktur CIA

Rencana penyerangan ke Indonesia sebaiknya diPERTIMBANGKAN lagi mengingat mahalnya biaya yang akan timbul dari peperangan tersebut. 
Berikut data-datanya:

Begitu memasuki perairan, Armada ketujuh kita akan dihadang pihak Bea Cukai karena membawa masuk senjata api dan peralatan tanpa surat izin dari pemerintah RI. Ini berarti kita harus menyediakan “uang damai”. Coba hitung berapa besarnya jika peralatan yang dibawa sedemikian banyak.

Kemudian bila kita mendirikan base camp militer , bisa ditebak di sekitar base camp pasti akan banyak  dikelilingi tukang bakso, tukang es kelapa,
lapak VCD bajakan, sampai obral celana dalam Rp 10.000 dapat 3. Belum terhitung jika pedagang komedi puter juga ikut mangkal di sekitar base camp.

Kemudian kendaraan tempur serta tank-tank lapis baja yang diparkir dekat base camp akan dikenakan  retribusi parkir oleh petugas dari dinas perparkiran daerah maupun preman-preman sekitar. Jika dua jam
pertama dikenakan Rp 10.000 (tarif untuk orang bule), berapa yang harus dibayar oleh pemerintah AS jika kendaraan harus parkir sebulan atau setahun lebih seperti di Irak sekarang ini.

Belum lagi pengusaha parkir swasta yang bisa melobi untuk menaikkan tarif parkir. Lobi itu sangat mulus karena salah satu komisaris di sebuah perusahaan parkir terbesar di Jakarta itu adalah mantan pejabat tinggi.

Belum lagi di sepanjang jalan menuju lokasi base camp kita harus menghadapi para “Pak Ogah” yang berlagak mengaturjalan sambil memungut biaya dari kendaraan yang memutar. Bisa dibayangkan berapa recehan yang harus disiapkan jika harus melakukan operasi tempur menuju pusat-pusat musuh seperti Cilangkap.
Dari Tanjung Priok (pelabuhan tempat Kapal induk merapat dan lokasi pasukan mendarat) ke Cilangkap saja ada berapa pertigaan, perempatan dan putaran.

Suatu kerepotan besar jika rombongan pasukan harus berkonvoi. Karena konvoi yang berjalan lambat pasti akan dihampiri para pengamen, dan anak-anak jalanan. Ini berarti harus mengeluarkan recehan lagi.

Belum lagi jika di jalan bertemu polisi bokek, udah pasti kena semprit karena konvoi tanpa izin terlebih dahulu.
Bayangkan berapa uang damai yang harus dikeluarkan untuk polantas-polantas itu.

Itu baru polantas Pak Myers. Belum petugas DLLAJ. Anda harus melihat sendiri bagaimana mereka beraksi. Kendaraan2 dan tank2 itu kan belum di kir. Itu pertanda buruk. Setiap kali kir, berapa uang yang harus kita keluarkan untuk membayar yang resmi dan tidak resmi. Belum lagi kalau  mau menyerbu KODAM di daerah lain. Kita harus melewati jembatan Timbang milik DLLAJ. Siapkan saja uang pelicin yang lebih banyak.

Di base camp militer , tentara AS sudah pasti tidak bisa tidur  nyenyak, karena banyak nyamuk akibat sangat tidak higienisnya lingkungan sekitar. Ini bisa dibasmi dengan penyemprotan dari dinas kesehatan. Lagi-lagi harus menyiapkan amplop untuk mereka.

Tentara AS juga nggak bisa jauh2 dari peralatan perangnya, karena disekitar base camp sudah mengintai pedagang besi loakan yang siap mempreteli peralatan perang canggih yang kita bawa.Kurang waspada
sedikit saja, tank Abrams kebanggaan kita bakal siap dikiloin.

Belum lagi para pencuri kendaraan bermotor yang sudah siap beraksi dengan kunci T-nya bakal merebut jip-jip perang kita yang kalau didempul dan cat ulang bisa dijual ke pasar gelap atau pasar spare part
hasil curian ranmor di Cinangka.

Peralatan telekomunikasi kita, yang menjadi alat vital dalam pertempuran, juga harus dijaga ketat, karena bandit kapak merah sudah mengincar peralatan itu.

Di samping itu juga ada aturan wajib lapor kalau bawa tamu jika lebih dari 1 x 24 jam, dan harus izin RT setempat. Belum RW dan kelurahan. Berapa banyak meja yang harus dilalui dengan amplopan.

Membayangkan ini semua, kami mewakili intel CIA di lapangan sepakat untuk meninjau ulang rencana penyerangan ke Indonesia

Minggu, 20 Maret 2011

Filsafat Ilmu Pemerintahan

 Suatu Tinjauan Ontologi
Oleh: Andi Sadapotto
Pendahuluan
Filsafat dalam dunia ilmiah bukanlah sesuatu yang menjadi mahluk asing (alien) tetapi mahluk yang paling mudah didapatkan dalam belantara pengetahuan yang tak terbatas karena tidak bisa dilepaskan dalam pijakan-pijakan akal ummat manusia seiring dengan mengaktualkan pikirannya. Filsafat secara etimologis menurut Ali Maksum (2008:15) merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan philosophy (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philosophia terdiri dari dua kata yaitu philos (cinta) dan sophos (kebijaksanaan/kebenaran), berarti filsafat jika dimaknai secara kata yaitu cinta kepada kebijaksanaan/kebenaran. Filsafat mengantarkan manusia pada nilai-nilai kebijaksanaan atau nilai kebenaran sehingga orang yang memiliki landasan berfikir dengan menyandarkan pada nilai-nilai kebijaksanaan atau kebenaran disebut filosof, seperti yang ditulis Paul Strathern (2001:1) bahwa orang yang pertama ambil pusing adalah kalangan filosof/filsuf Neolitik (purba).
Perenungan para filosof pada awalnya merefleksikan seluruh keberadaan ini sebagai suatu entitas yang komprehensif, tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak bersandar pada filsafat sehingga filsafat sering dikenal dengan nama lain mother of science (ibu dari segala ilmu pengetahuan), namun perjalanan filsafat dirimba pengetahuan diwarnai dengan benturan-benturan argumentasi rasional karena terjadi pertentangan dalam membangun premis-premis realitas yang dimiliki oleh agama, sains (ilmu pengetahuan), dan filsafat. Cara pandang yang berbeda terhadap agama, sains (ilmu pengetahuan), dan filsafat inilah yang membuat filsafat harus terpisah dari sains (ilmu pengetahuan) dan agama. Filsafat hanya memiliki porsi untuk membahas tentang metafisika (hal-hal yang di luar fisika) sehingga tidak ada lagi hubungan antara agama, sains (ilmu pengetahuan) dan filsafat dalam memproyeksikan masa depan pengetahuan yang satu dalam lingkaran filsafat.
Mereka memilih alur sendiri untuk menggali pendaman-pendaman pengetahuannya,  padahal dalam perkembangan pengetahuan manusia pada awalnya tidak ada keterpisahan dari filsafat, agama dan sains (ilmu pengetahuan). Hasil kontemplasi para filosof ini melahirkan konklusi bahwa pengetahuan itu tidak bisa keluar dari filsafat sebagaimana awal-awal penetapan sistematika filsafat atau lebih tepatnya pada masa Yunani, tersubtitusi oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles, seperti pembahasan Mohammad Hatta (1986:72) bahwa sistem ajaran filososfi klasik baru ini dibangun oleh Plato dan Aristoteles berdasarkan ajaran Sokrates. Perjalanan yang begitu panjang dengan ditandainya perpisahan antara filsafat dengan agama dan sains (ilmu pengetahuan) membuat keduanya merasa membutuhkan filsafat sebagai pisau analisis dalam menemukan hakekat. Terjadinya berbagai kebuntuan intelektual yang disebabkan karena ketidakmampuan mencairkan argumentasi yang hadir dalam pembahasan oleh agama dan sains (ilmu pengetahuan) sehingga lahirlah model/tipe pembahasan yang mengawinkan diri dengan filsafat misalnya, filsafat agama, filsafat teknologi, filsafat ilmu. Sebuah keniscayaan eksistensi filsafat dalam tubuh agama dan sains (ilmu pengetahuan) membuktikan bahwa ilmu yang telah melepaskan diri dari induknya tidak bisa berdiri sendiri untuk memecahkan segala permasalahannya tanpa memasukkan ke dalam sel saraf untuk menemukan puncak libido intelektualnya. Begitupun dengan adanya ilmu pemerintahan yang merupakan ilmu baru yang sering diklaim tidak memiliki identitas yang jelas oleh orang-orang yang memandang sepintas lalu, kebutuhan untuk menggali endapan ilmu yang tertimbun sekaligus untuk menampakkan ke permukaan ilmu pemerintahan maka perlu dianalisis dalam kaca mata filsafat. Sekaligus membuktikan bahwa tampakan-tampakan ilmu pemerintahan bukanlah argumentasi yang kuat untuk menghukumi hakekat ilmu pemerintahan yang sebenarnya.
Ada tiga kajian pokok dalam filsafat yaitu ontologi, epistemologi dan axiologi. Dengan menganalisis melalui filsafat akan menjadi garis demarkasi ilmu pemerintahan yang sesungguhnya dengan ilmu yang lainnya karena banyak perdebatan tentang eksistensi pemerintahan sebagai sebuah ilmu apakah pemerintahan hanyalah sebagai seni yang tidak memilki sistematika pembahasan yang tidak jelas ataukah merupakan ilmu pengetahuan yang memiliki eksistensi yang jelas dalam kajian filsafat. Tulisan ini hanya akan membahas bahagian tentang ontologi saja, lebih jelasnya sebagaimana paparan yang selanjutnya akan dianalisis secara ontologi (hakekat keberadaan) dari ilmu pemerintahan.

Ontologi Pemerintahan
Ontologi menurut Inu Kencana Syafi’I (2001;15) bahwa ontologi merupakan teori tentang ada dan realitas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas denga refleksi rasional serta analisis dan sintetis logika. Ontologi juga memiliki nama lain yaitu metafisika, menurut Ali Maksum (2008:36) bahwa metafisika adalah filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, tentang hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman dan pengamatan indra manusia. Kajian ontologi ini akan membahas masalah tentang keberadaan ilmu pemerintahan, karena kajian dari ontologi ini berbicara masalah keberadaan supaya memperjelas bangunan ilmu pemerintahan yang sesungguhnya. Untuk menetapkan bagaimana posisi ilmu tersebut adalah harus mengenal dulu tentang adanya (eksistensi) baru menjelaskan apanya (esensi) karena bagaimana mungkin menjelaskan apa kalau belum jelas tentang keberadaannya. Pembahasan ontologi inilah yang memperjelas tentang keberadaan atau eksistensi dari ilmu pemerintahan.
Pembahasan dalam ontologi ini membagi dua hal dalam melihat objek sesuatu dari ilmu, menurut Inu Kencana Syafi’I (2001:16) yaitu terdiri dari objek materi yang menjadi pokok persoalan (subjek matter) dan objek formanya yang menjadi pusat perhatiannya (focus matter), ilmu pemerintahan memiliki objek materi dan objek forma sebagai berikut:
1.      Objek materi (subjek matter), membahas secara umum dan merupakan topik yang dibahas secara global/umum tentang pokok persoalan dari ilmu. Ilmu pemerintahan memiliki objek materi yaitu negara, secara umum menjadi pijakan dari ilmu pemerintahan itu sendiri atau biasa juga disebut sebagai unsur yang menyusun dari ilmu pemerintahan. Negara menjadi objek materi sehingga sangat penting dan banyak ilmuan yang mendefinisikan negara tetapi sama pada subtansi tentang kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kedaulatan. Pembahasan tentang Negara ini bukan hanya ilmu pemerintahan yang membahasnya, objek materi ini bisa saja sama dalam beberapa disiplin ilmu dan yang membedakan hanya pada objek formanya.
2.      Ketiadaan dari objek materi ini meniscayakan tidak adanya bentuk yang akan dijelaskan. Objek forma (subjek matter), bersifat khusus dan spesifik karena merupakan pusat perhatian suatu disiplin ilmu. Ilmu pemerintahan memiliki objek forma yaitu hubungan-hubungan pemerintahan, gejala dan peristiwa pemerintahan. Hubungan yang dimaksud menurut Inu Kencana Syafi’I (2001:25) yaitu hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun hubungan antara pemerintah itu dengan daerah rakyat yang dipimpinnya, gejala pemerintahan menurut Taliziduhu Ndraha (2002:413) bahwa gejala pemerintahan dianggap sebagai akibat (dampak) seperangkat sebab (dalam hubungan kausal), menurut Inu Kencana Syafi’I (2001:25) gejala pemerintahan yaitu bersifat sentralistis ataupun desentralis,  namun menurut Muhadam Labolo (2008:70) bahwa gejala pemerintahan hadir bersamaan eksistensi manusia itu sendiri atas kebutuhan alamiah yang tak terelakkan, sedangkan peristiwa pemerintahan dapat bersifat sekali lalu ataupun berulang kali sehingga dengan jelas objek forma dari ilmu pemerintahan yang memberikan bentuknya dalam menemukan kedudukannya dari ilmu yang lainnya.

Lebih jelas, Inu Kencana Syafi’i (2001:24) membandingakn ilmu pemerintahan dengan beberapa ilmu yang memiliki persamaan objek materi dari ilmu pemerintahan, yaitu:
No.
Nama Disiplin Ilmu Pengetahuan
Objek Materi
Objek Forma
1.
Ilmu Pemerintahan
Negara
Hubungan-hubungan pemerintahan, gejala dan peristiwa
2.
Ilmu Politik
Negara
Kekuasaan, kepentingan rakyat, grup penekan
3.
Ilmu Administrasi Negara
Negara
Pelayanan, organisasi, manajemen, birokrasi
4.
Ilmu Hukum Tata Negara
Negara
Peraturan perundang-undangan
5.
Ilmu Negara
Negara
Konstitusi, timbul dan tenggelamnya Negara

 Jadi objek materi dan objek forma dua entitas dalam pembahasan ontologi tidak terpisah karena hadir untuk menjelaskan eksistensi dari ilmu yang dikaji. Jelas objek materi dan objek forma dari ilmu pemerintahan sehingga dalam melihat ontologi dari ilmu pemerintahan mampu memberikan gambaran bahwa pemerintahan sebagai ilmu terutama dalam kajian ilmu-ilmu Negara memiliki eksistensi yang berbeda. Kejelasan dalam menempatkan posisi ilmu pemerintahan dalam  objek materi dan forma menunjukkan bahwa ilmu pemerintahan yang memiliki eksistensi yang kabur telah menyatu melalui pecahan-pecahan pengetahuan oleh filsafat khususnya pada ontologi pemerintahan.
Daftar Pustaka
Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pemikiran Yunani. Jakarta:UI-Press
Labolo, Muhadam.2010. Memahami Ilmu Pemerintahan. Jakarta:Rajagrafindo Persada
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat (dari Klasik Hingga Postmodernisme).Jakarta:Ar-Ruzz Media
Ndraha, Taliziduhu. 2002. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru). Jakarta:Rineka Cipta
Strathern, Paul. 2001. 90 Menit Bersama Sokrates. Jakarta:Erlangga
Syafi’I, Inu Kencana . 2001. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Jakarta:Refika Aditama

Rabu, 16 Maret 2011

pembenaran yang dihilangkan

Jangan salah bahwa kekuatan sebuah logika mampu membungkam suatu kebenaran ,,,, faktanya bahwa kebenaran yang hakiki terus diperdebatkan tampa ada solusi dan keputusan akhir yang lahir dari perdebatan tersebut, seringkali kita dapatkan seseorang memperdebatkan sesuatu hal yang jelas sudah tidak ada keragun di dalamnya. Dalam  kehidupan  sehari-hari  sejak  jaman  purbakala  manusia  selalu  berusaha  mencari  hakekat  kebenaran  mengenai  hal-hal  yang  bersifat  hakiki,  seperti  masalah  Tuhan,  kematian,  hidup  sesudah  mati,  cinta  dan lain-lain.  Manusia  berusaha  mengerti  dan  menaklukan  alam  semesta  yang  penuh  dengan misteri.  Sampai  jaman  yang  diwarnai  dengan  kecanggihan  teknologi  saat ini,  perasaan  untuk  mengerti  dan  memahami   rahasia-rahasia  alam  semesta  termasuk  rahasia  mengenai  dirirnya  sendiri.

            Pada  masa  jaman  pertengahan,  manusia  belum  menunjukkan  minat  terhadap  studi  sistematis  mengenai  dunia  fisik,  kondisi  tersebut  banyak  dipengaruhi  oleh  pendapat  filsafat  Yunani  yang lebih  mengutamakan  “Yang  umum”  daripada  “Yang  khusus”.  Pengetahuan  yang umum  mengacu  pada  hakekat  dan  esensi  hal-hal  yang  konkrit,  sedang  yang  khusus  membedakan  benda  satu  dengan  yang  lain.

            Dalam  mitologi  Yunani  dikenal  adanya  istilah  dewa  Zeus  yang selalu  dihubungkan  dengan  persoalan  cuaca,  hujan  dan  kilat,  dewa  Poseidon  ynag  menguasai  lautan  dan  gempa  bumi.  Manakala  terjadi  bencana  alam  seperti  gempa  bumi,  banjir  dan  lain-lainnya;  manusia  selalu  menghubung-hubungkan  dengan  hal-hal  yang bersifat  supernatural.  Dalam  perkembangan  pemikirannnya  akhirnya  manusia  setelah  mengalami  berbagai  proses  berhasil  menggunakan  daya  nalarnya  (ratio)  dalam  memecahkan  persoalannya.  Seperti  yang  terjadi  pada  Abad  Pertengahan  dengan  penemuan-penemuan  ilmiah  oleh  Copernicus  dan  Edison.  Sebagaimana  pendapat  seorang  filosof  Rene  Descartes  yang  mengatakan  “COGITO  ERGO  SUM”  (Aku  ada  karena  berpikir)  maka  manusia  mulai  menggunakan  pikirannya  yang  luar  biasa  ajaibnya.  

            Sekalipun  demikian  perlu  dibedakan  antara  penggunaan  akal  sehat  (common  sense)  dengan  ilmu  pengetahuan.  Letak  perbedaan  yang  mendasar  antara  keduanya  ialah  berkisar  pada  kata  “sistematik”  dan  “terkendali”.  Ada  lima  hal  pokok  yang  membedakan  antara  ilmu  dan  akal  sehat.  Yang  pertama,  ilmu  pengetahuan  dikembangkan  melalui  struktur-stuktur  teori,  dan  diuji  konsistensi  internalnya.  Dalam  mengembangkan  strukturnya,  hal  itu  dilakukan  dengan  tes  ataupun  pengujian  secara  empiris.  Sedang  penggunaan  akal  sehat  biasanya  tidak.  Yang  kedua,  dalam  ilmu  pengetahuan,  teori  dan  hipotesa  selalu  diuji  secara  empiris.  Halnya  dengan  orang  yang  bukan  ilmuwan  dengan  cara  “selektif”.  Yang  ketiga,  adanya  pengertian  kendali  (kontrol)  yang  dalam  penelitian  ilmiah  dapat  mempunyai  pengertian  yang  bermacam-macam.  Yang  keempat,  ilmu  pengetahuan  menekankan  adanya  hubungan  antara  fenomena  secara  sadar  dan  sistematis.  Pola  penghubungnya tidak  dilakukan  secara  asal-asalan.  Yang  kelima,  perbedaan  terletak  pada  cara  memberi  penjelasan  yang  berlainan  dalam  mengamati  suatu  fenomena.  Dalam  menerangkan  hubungan  antar  fenomena,  ilmuwan  melakukan  dengan  hati-hati  dan  menghindari  penafsiran  yang  bersifat  metafisis.  Proposisi  yang  dihasilkan  selalu  terbuka  untuk  pengamatan  dan  pengujian  secara  ilmiah.

Selasa, 15 Maret 2011

Proposal

IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN MAROS


 

I.        PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Good governance (tata pemerintahan yang baik) sudah lama menjadi mimpi banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman mereka mengenai good governance berbeda-beda, sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang baik. Banyak diantara mereka yang membayangkan bahwa dengan memiliki praktik governance yang lebih baik maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga.
            Sejak tahun 2006, pemahaman mengenai praktik governance di Indonesia telah memperlihatkan kemajuan yang semakin berarti. Mulai tersedianya banyak data yang dapat digunakan untuk memahami praktik governance di Indonesia. Kendatipun demikian persoalan ini belum menyeluruh diterapkan dan masih terdapat banyak kekurangan dalam praktiknya di beberapa daerah di Indonesia.
            Kualitas pelayanan publik yang banyak menjadi keresahan masyarakat dapat dijadikan indikasi belum terwujudnya implementasi good governace secara baik. Berbicara pelayanan publik maka subjeknya adalah birokrat/pemerintah dan masyarakat akan memposisikan diri pada tataran objek. Dalam konteks negara, setiap warga negara tidak akan pernah bisa menghindar dari hubungan dengan birokrasi pemerintah. Pada saat yang sama, birokrasi pemerintah adalah satu-satunya organisasi yang memiliki legitimasi untuk memaksakan berbagai peraturan dan kebijkan pada masyarakat dan setiap warga negara.
            Setiap warga negara, sejak dari lahir sampai dengan meninggal dunia, harus berurusan dengan birokrasi pemerintah. Ketika lahir seorang bayi sudah harus mendapatkan pengakuan dari pemerintah lewat akta kelahiran, beranjak dewasa kemudian mempunyai kewajiban memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), pada saat nikah harus memiliki akta nikah, dan berbagai bentuk-bentuk pelayanan publik yang lain dalam bidang kependudukan seperti pengurusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pembuatan surat-surat perizinan, hingga meninggal dunia, pihak keluarga harus mengurus surat kematian dari Lurah untuk memperoleh kapling di TPU (Tempat Pemakaman Umum).
            Tentunya, berbicara soal pelayanan publik tidak hanya sebatas yang telah dipaparkan di atas. Namun Pelayanan publik dapat menyangkut bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, perumahan, kesejahteraan sosial, gizi, listrik, kebutuhan pangan pokok, dan masih banyak lagi. Begitu luas ruang lingkup pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah sehingga semua orang mau tidak mau harus menerima bahwa intervensi birokrasi melalui pelayanan publik itu absah adanya.
            Adapun penelitian yang akan dilakukan tentang implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik, masalah akan dibatasi pada pelayanan publik di bidang kependudukan seperti yang telah dipaparkan di atas meliputi pembuatan KTP, akta kelahiran, pembuatan kartu keluarga, pengurusan pajak bumi dan bangunan (PBB), dan sebagainya.
            Tentu banyak masalah dan kekurangan pada taraf pelayanan publik di bidang ini, katersediaan informasi secara komprehensif (transparansi), dan kualitas pelayanan yang diberikan/tidak berbelit-belit (akuntabilitas), serta banyak lagi permasalahan yang berkaitan dengan prinsip utama good governance di atas (transparansi dan akuntabilitas). 
            Karena itu, tuntutan-tuntutan terhadap birokrat seringkali muncul sehubungan dengan kurangnya perhatian para aparatur birokrasi pemerintah dalam proses pelayanan publik tersebut. Untuk memperoleh pelayanan yang sederhana saja, pengguna jasa seringkali dihadapkan pada kesulitan-kesulitan teknis yang kadang terlalu mengada-ada. Dari banyak contoh di lapangan, seringkali terlihat aparatur birokrasi yang melayani kepentingan publik masih belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Kelambanan pelayanan tidak hanya disebabkan oleh kurang baiknya cara memeberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik kadang terlalu beriorentasi pada kegiatan dan pertanggungjawaban formal.
            Kabupaten Maros adalah salah satu daerah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan yang sangat strategis untuk penelitian mengenai impelemntasi prinsip-prinsip good governance dalam pelayan publik. Hal ini disebabkan karena Kabupaten Maros memiliki lokasi yang dapat terjangkau secara mudah dari kota Makassar serta status Kabupaten Maros yang selama lima tahun terakhir berturut-turut disclaimer
            Adapun dalam penelitian yang akan dilakukan, prinsip-prinsip good governance akan dibatasi pada dua prinsip utama yang meilputi prinsip transparansi dan akuntabilitas pada bidang kependudukan. Penelitian implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik yang meliputi bidang kependudukan ini diharapkan mampu menghasilkan output yang jelas bagi perbaikan pelayanan publik dan perwujudan good governance di Indonesia secara umum dan Kab. Maros pada khusunya.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan beberapa cakupan masalah yang menyangkut permasalahan tentang implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik di bidang kependudukan maka penulis mengambil beberapa rumusan masalah sebagai beriikut :
a.    Bagaimana tingkat kepuasan masyarakat dalam pelayanan publik bidang kependudukan di Kabupaten Maros?
b.    Bagaimana implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik bidang kependudukan di Kabupaten Maros?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1.   Tujuan Penelitian
            Penelitian ini bertujuan :
a.    Untuk megetahui sejauh mana tingkat kepuasan masyarakat dalam pelayanan publik bidang kependudukan di Kabupaten Maros.
b.    Untuk mengetahui implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik bidang kependudukan di Kabupaten Maros.
1.3.2.   Manfaat Penelitian
a.    Manfaat Akademik
            Diharapkan penelitian ini akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bagi para akademisi yang menggeluti Politik Pemerintahan. Penelitian ini menjadi salah satu bahan informasi dengan menyajikan berbagai data-data dan konsep-konsep serta teori-teori yang diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan.
b.    Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan gambaran umum bagi masyarakat dan pihak-pihak yang terkait, tentang pengimplimentasian prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan public bidang kependudukan secara khusus pada Kabupaten Maros, Serta dapat menjadi sumbangan referensi bagi para pihak yang respect terhadap pelayanan public dalam pelaksanaan otonomi daerah.
II.        TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang secara formal diberlakukan pada 1 Januari 2005 merupakan landasan termutakhir bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Kebijakan pemerintah untuk menyerahkan wewenang pemerintahan di daerah sebagai wujud pembagian kekuasaan yang dituangkan dalam kebijakan Otonomi Daerah merupakan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah agar pihak pemegang otoritas dalam hal ini pemerintah dapat lebih dekat dengan masyarakat sehingga kebijakan-kebijakan yang ditelorkan lebih mengena dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah.
Penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang meliputi semua urusan pemerintahan di daerah ini disertai pula dengan alokasi-alokasi dana yang berorientasi pada kelancaran penyelenggaran urusan pemerintahan.
Konsep Otonomi daerah dipandang sebagai kebijakan termutakhir untuk menyejahterakan rakyat dengan berbasis kemandirian daerah. Otonomi daerah juga akan mendekatkan rakyat kepada pemerintah daerah sehingga kepentingan-kepentingan dan aspirasi masyarakat dapat terakomodasi lebih cepat dan ditanggapi dengan lebih tepat.
Selain menjadi peluang untuk menyejahterakan rakyat, Kebijakan Otonomi Daerah ini juga menjadi tantangan besar bagi semua yang terlibat dalam tatanan pemerintahan baik pusat maupun daerah. Namun, pada dasarnya jika pemahaman terhadap konsepsi ideal diikuti dengan implementasi kebijakan yang akuntabel dan bertanggung jawab, tak mustahil aktualisasi kebijakan Otonomi Daerah dapat terhindar dari berbagai distorsi yang mengarah pada tidak optimalnya pencapaian orientasi Otonomi Daerah dalam menyejahterakan rakyat. Namun, pengkajian kritis terhadap kebijakan yang digulirkan pemerintah, termasuk kebijakan Otonomi Daerah ini mestilah terus dilakukan demi perbaikan dan penyempurnaan sistem yang mengikat penyelenggaraan pemerintahan, sebab perkembangan zaman selalu diikuti dengan perubahan tatanan kehidupan dan kebijakan pemerintah mestilah tanggap terhadap kepentingan rakyat setiap saat.
2.2. Paradigma Good Governance
Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik) sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. World Bank mendefinisikan Good Governance sebagai suatu penyelenggaraan manejemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha (Mardiasmo,2002:24).
Dalam konteks tata kelola pemerintahan, sering dijumpai perbedaan kata Government dan Governance. Perbedaan paling pokok antara konsep  Government dan Governance terletak pada cara dan metode penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Untuk memahami Good Governance berikut beberapa prinsip-prinsip di dalamnya, yakni:
1.    Akuntabilitas (accountability) yakni tanggung gugat dari pengurusan / penyelenggaraan, dari governance yang dilakukan. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seorang pemimpin suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau yang berwenang meminta pertanggungjawaban.
2.    Transparansi (transparancy) yaitu kesempatan oleh banyak pihak (yang berkepentingan untuk mengetahui perumusan kebijaksanaan (politik) dari pemerintah, organisasi, badan usaha.
3.    Keterbukaan (openes) Pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka terhadap eritic yang merupakan partisipasi. Keterbukaan bisa meliputi bidang politik dan pemerintahan.
4.    Aturan Hukum (Rule of Law) Keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha berdasar hukum (peraturan yang sah). Jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Dasar-dasar dan institusi hukum yang baik merupakan infrastuktur good governance.
5.    Jaminan fairnes, a level playing field (perlakuan yang adil / perlakuan kesetaraan) Adamolekun dan Briyant menambahkan dalam unsur-unsur good governance, management competency dan human rights.
2.3. Birokrasi Pelayanan Publik
Di Indonesia, organisasi pemerintahan yang berfungsi sebagai pelayan publik mecakup pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Pelayanan Publik. Selain itu juga dikemukakan bahwa semua organisasi tersebut pada hakikatnya berupaya untuk memberikan pelayanan yang memuaskan dan memenuhi harapan masyarakat, meski pada perkembangan dan pelaksanaan fungsi dan wewenangnya deviasi dalam organisasi pemerintahan tersebut marak ditemukan.


2.4. Birokrasi Era Pasca Reformasi
Era Pasca Reformasi di Indonesia ditandai dengan terbitnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tata pelaksanaan Pemerintahan di daerah. Pelaksanaan Asas Desentralisasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang diamandemen menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 diamanatkan untuk tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski telah lama ditetapkan, dalam prakteknya banyak daerah yang tidak serta merta dapat melaksanakan Otonomi daerah secara penuh. Secara umum dapat dikatakan bahwa tahun pelaksanaan Otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001 merupakan tahun transisi, karena hampir semua daerah selama satu tahun tersebut masih dalam tahap konsolidasi dalam penyusunan perangkat pemerintahan yang tercermin dalam kerangka–kerangka Birokrasi pelayan publik, baik struktur organisasinya, kepegawaian, maupun penyusunan perda-perda yang berkaitan dengan kewenangan baru yang diterima dari Pemerintah Daerah.
Arah kebijakan publik dewasa ini juga telah merambah kepada aspek tata kelola Pemerintahan. Kebijakan Pemerintah menetapkan arah pengelolaan Pemerintahan menuju tata kelola Pemerintahan yang baik (Good Governance) dimana terdapat prinsip-prinsip transparansi, demokratisasi, efektifitas, efisiensi, supremasi hukum dan akuntabilitas dalam menyelenggarakan Pemerintahan. Reformasi Birokrasi menuju Paradigma Good Governance yang membawa agenda besar menuju pembangunan dam kesejahteraan masyarakat salah satunya adalah peningkatan profesionalisme aparatur Pemerintah dalam Birokrasi.
Fungsi utama Pemerintah yang diejawantahkan oleh Birokrasi adalah penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat daerah bersangkutan. Oleh sebab itu optimalisasi pelayanan publik yang efektif dan efisien menjadi perhatian utama Pemerintah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima bagi masyarakat, lama menyediakan pelayanan prima tersebut, Dalam Era Otonomi Daerah dimana fokus Pemerintah mengenai Demokratisasi dalam Desentralisasi di setiap aspek kehidupan masyarakat membawa beragam pemikiran demi memajukan Birokrasi dan meninkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di dalam kewenangan otonomi tersebut, melekat pula tanggung jawab Birokrasi untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pelayanan prima dan optimal bagi masyarakat tanpa pandang bulu.
Di samping itu, prinsip “ramping struktur kaya fungsi” yang lebih menjamin manajemen Birokrasi juga selayaknya berjalan efektif, efisien dan responsif-proaktif terhadap masyarakat, sebab kecenderungan Birokrasi kita saat ini memiliki jumlah aparat Birokrasi yang terlalu besar. Kondisi ini memberikan tekanan sangat berat terhadap keuangan negara dan menjadi salah satu sumber penghambat melakukan manajemen Reformasi Birokrasi menuju Good Governance secara internal sebab gemuknya struktur Birokrasi tersebut juga tidak serta-merta mendorong optimalisasi kualitas pelayanan publik menjadi semakin besar, justru membuka kesempatan bagi timbulnya patologi-patologi Birokrasi yang baru. Urgensi desain sistem dan sumber daya yang memegang teguh asas-asas pelayanan publik yang baik semakin besar agar harapan bahwa  penyelenggarakan Birokrasi berparadigma Good Governance bukanlah utopia belaka.

2.5. Patologi Birokrasi
Dewasa ini, fenomena yang berkembang dalam perjalanan Birokrasi di Indonesia adalah ketidakmampuan pihak-pihak yang berhubungan dengan Birokrasi secara langsung –dalam hal ini aparatur dan masyarakat sendiri untuk menghapuskan patologi-patologi yang timbul dan berkembang dalam tubuh Birokrasi.
Patologi-patologi Birokrasi akut tersebut berupa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh aparatur atau para birokrat yang menjalankan Birokrasi. KKN dewasa ini hampir terjadi di semua tahap penyelenggaraan Birokrasi juga berbagai hal lain yang berpotensi menghambat kinarja sehingga optimalisasi pelaksanaan setiap kegiatan menjadi berkurang yang berakibat pada peningkatan mutu pelayanan publik oleh Birokrasi semakin terkendala.
Model Birokrasi pada Orde Reformasi dimana wacana tentang perubahan dan perbaikan secara radikal terhadap Birokrasi justru menjadi Era dimana pelaksanaan Birokrasi yang dinilai memiliki tingkat keburukan tertinggi. Beragam patologi Birokrasi bermunculan bak jamur di musim hujan, hal juga terjadi sebab format birokrasi yang berubah dari sentralistik menjadi desentralistik dimana peran-peran pimpinan secara terpusat terdistribusi kepada setiap aparatur atau stakeholders sehingga kemungkinan penyimpangan dan patologi birokrasi, khususnya aparatur menjadi lebih besar.
III.        KERANGKA KONSEPTUAL
3.1. Konsep Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip utama yang ada di dalamnya. Bertolak dari prinsi-pprinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Menyadari pentingnya masalah ini, dua prinsip utama good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1.    Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
2.    Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
3.2. Pengertian Pelayanan Publik
             Pelayanan pada dasarnya adalah cara melayani, membantu, menyiapkan, mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan pelayanan publik ( masyarakat ) secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses atau rangkaian kegiatan untuk memberikan jasa kepada masyarakat, baik berupa pengaturan maupun pelayanan atas dasar tuntutan masyarakat sehingga memudahkan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
            Pengertian dasar pelayanan publik menurut Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2004 menyatakan bahwa :
" Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang – undangan "
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2001).
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas serta transparansi dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut :
1)    Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran;
2)    Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan;
3)    Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
a)    Prosedur/tata cara pelayanan;
b)    Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif;
c)    Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan;
d)    Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
e)    Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4)    Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta;
5)    Efisiensi, mengandung arti :
a)    Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan;
b)    Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6)    Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;
7)    Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani;
8)    Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani  yang senantiasa mengalami tumbuh berkembangnya pembangunan suatu daerah.
3.3. Konsep Pelayanan Pemerintah
Fungsi pokok pemerintah dalam negara adalah menjamin terselenggaranya kehidupan negara dan menjadi alat masyarakat dalam mencapai tujuan ideal suatu negara. Untuk melaksanakan fungsi itu, birokrasi pemerintah setidaknya memiliki tiga tugas pokok yaitu:
a.    Memberikan pelayanan umum (service) yang bersifat rutin kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan perijinan, pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi penduduk.
b.    Melakukan pemberdayaan (empowernment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajauan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan pembimbingan, pendampingan, konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan.
c.    Menyelenggarakan pembangunan (development) seperti membangun infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dalam pelayanan publik adalah kata yang mudah diucapkan tetapi susah untuk dilaksanakan, terlebih bila hal tersebut menuntut suatu pelayanan yang bermutu atau berkualitas yang mampu memberikan nilai kepuasan kepada masyarakat seperti apa yang selama ini dituntut atau diharapkan oleh masyarakat dari aparat pemerintah sesuai prinsip Good Governance.
Sebagai pelaksana penyelenggara pemerintahan, maka setiap aparatur dituntut untuk dapat berperan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang senantiasa harus dapat siap dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintahan Daerah harus terukur dan ada standar yang jelas, tujuannya untuk meningkatkan kepekaan “PEMDA” dalam menentukan tujuan dan sasaran dari setiap urusan sebagai unsur aparat negara dan abdi masyarakat, mempunyai peran yang amat penting dalam rangka menciptakan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil , dan bermoral tinggi yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Tahun 1945. 
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat dalam skema kerangka konseptual sebagai berikut:






Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
IV.        HIPOTESIS
Hipotesis merupakan sebuah jawaban sementara dari suatu penelitian yang tentunya akan di uji kebenarannya. Hipotesis ini akan menjadi dugaan awal tentang fenomena yang akan diteliti, tingkat kebenaran dan kesalahan akan terlihat setelah dilakukan penelitian di lapangan.
Adapun hipotesis terhadap rumusan masalah di atas adalah :
1.    Tidak terdapat tingkat kepuasan layanan yang tinggi terhadap pelayanan publik bidang kependudukan di Kabupaten Maros.
2.     Tidak terdapat implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik bidang kependudukan di Kabupaten Maros.
V.        METODOLOGI PENELITIAN
Dalam Menulis penelitian ini penulis menggunakan metode dan teknik penelitian sebagai berikut :
5.1. Lokasi Penelitian
Kabupaten Maros terletak di bagian barat Sulawesi Selatan, secara geografis terletak antara 445 - 507 LS dan antara 10205 - 1212 BT. Kabupaten ini sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Gowa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bone dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar dan memiliki luas wilayah 1.619,12 Km2.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Maros sementara adalah 318.238 orang, yang terdiri atas 155.761 laki-laki dan 172.477 perempuan. Berdasarkan hasil sensus tersebut dapat terlihat penyebaran penduduk Kabupaten Maros masih bertumpu di Kecamatan Turikale yakni sebesar 12,89 %, kemudian diikuti oleh Kecamatan Mandai sebesar 10,99 %, dan Kecamatan Bantimurung sebesar 8,74 %. Cenrana, Camba dan Mallawa adalah 3 (tiga) kecamatan dengan urutan terbawah yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit yang masing-masing berjumlah 13.664 orang, 12.523 orang, dan 10.692 orang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1, kemudian untuk data penyebaran penduduk di Kabupaten Maros dapat pula dilihat pada tebel 1.2.
5.2. Tipe penelitian
            Tipe Penelitian adalah tipe penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu tipe penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau lukisan situasi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai objek yang diselidiki di mana hasil deskriptif dilanjutkan dengan penjelasan secara rinci dan mendetail tentang situasi dan kondisi implementasi prinsip-prinsip Good Governance terhadap birokrasi dalam melayani masyarakat setempat.
5.3. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan adalah bentuk populasi area yang meliputi Kabupaten Maros. Sampel meliputi Kecamatan dengan menggunakan sampling gugus bertahap serta penentuan sampel secara random. Pada gambar. 3 akan dipaparkan tata cara dalam penentuan sampel sebagimana teknik sampling yang telah dipilih. Teknik pengambilan sampel yang dimaksud dipilih mengingat sifat daerah populasi yang begitu luas serta keadaan sosial yang sangat heterogen. Gambar. 3 menjelaskan metode penarikan sampel berdasarkan teknik sampling random.


Tebel 1.1: Jumlah Penduduk Kabupaten Maros menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2010
NNo.
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Sex Ratio
1
Mandai
17.545
17.428
34.974
99
2
Moncongloe
8.480
8.492
16.972
100
3
Maros baru
11.617
12.223
23.840
105
4
Marusu
12.378
12.810
25.188
103
5
Turikale
19.737
21.301
41.038
108
6
Lau
11.865
12.343
24.208
104
7
Bontoa
12.920
13.630
26.550
105
8
Bantimurung
13.265
14.552
27.817
110
9
Simbang
10.539
11.462
22.001
109
10
Tanralili
12.961
12.140
25.101
94
11
Tompobulu
6.727
6.944
13.671
103
12
Camba
6.049
6.474
12.523
107
13
Cenrana
6.540
7.124
13.664
109
14
Mallawa
5.138
5.554
10.692
108
Jumlah
155.761
162.477
318.238
104

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros Tahun 2010


Tabel .2:  Kepadatan Penduduk Kabupaten Maros
No
Kecamatan
Luas Wilayah
Penduduk
(L + P)
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Mandai
Moncongloe
Maros baru
Marusu
Turikale
Lau
Bontoa
Bantimurung
Simbang
Tanralili
Tompobulu
Camba
Cenrana
Mallawa
49.11
46.87
53.76
73.83
29.93
53.73
93.52
173.70
105.31
89.45
287.66
145.36
180.97
235.92
34.973
16.972
23.840
25.188
41.038
24.208
26.550
27.817
22.001
25.101
13.671
12.523
13.664
10.692
712
362
443
341
1.371
451
284
160
209
281
48
86
76
45
Jumlah
1,619.12
318.238
197

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros Tahun 2010





 









Gambar. 2 Penentuan sampel secara random
5.4. Teknik Sampling
Sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan ketentuan besaran sampel atas besaran populasi dengan menggunakan rumus penentuan besaran populasi sebagai berikut :
Keterangan :
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketelitian karena kesalahan pengambilan sampel populasi.
5.5. Sumber Data         
Dari penelitian ini data yang diperoleh berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasikan dari dua sumber yaitu :
1.    Data Primer, data yang diperoleh dari hasil pertanyaan (kuesioner) yang penulis lakukan berdasarkan pedoman yang telah dibuat.
2.    Data sekunder, data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, laporan-laporan maupun arsip-arsip resmi, yang dapat didukung kelengkapan data primer.
Penggunaan data primer dan data sekunder secara bersama-sama dimaksudkan agar saling melengkapi yang disesuaikan dengan keperluan penelitian, selain itu hal ini dilakukan sekaligus untuk perbandingan data yang diperoleh.
5.6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu :
a.    Survei, yaitu usaha untuk mengumpulkan data dari anggota populasi untuk menentukan status terakhir dari populasi mengenai satu atau lebih fenomena. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner.
b.    Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca buku, majalah, surat kabar, dokumen-dokumen, undang-undang dan media informasi lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. 
c.    Penelusuran data online, data yang dikumpulkan menggunakan teknik ini seperti studi kepustakaan diatas. Namun yang akan membedakan hanya media tempat pengembilan data atau informasi. Teknik ini memanfaatkan data online, yakni menggunakan fasilitas internet.   
5.7. Analisis Data
            Data yang terkumpul akan dianalisa secara kuantitatif, yaitu dengan menguraikan dan menjelaskan hasil-hasil penelitian dari sejumlah data kualntitatif dari hasil penelitian. Hal ini untuk mengetahui status dan mendeskripsikan fenomena berdasarkan data yang terkumpul. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik dengan memanfaatkan software SPSS.
5.8. Defenisi Operasional
Setelah berbagai konsep di uraikan dalam hal yang berhubungan dengan kegiatan ini, maka untuk memepermudah dalam mencapai tujuan penelitian perlu disusun defenisi operasional yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini antara lain :
1)    Implementasi yang dimaksud adalah implementasi pelaksanaan prinsip Good Governance dalam pelayanan public bidang kependudukan di Kabupaten Maros.
2)    Good Governance yang dimaksud dalam penelitian ini adalah, tata kelola pemerintahan yang baik yang memiliki prinsip-prinsip utama :
a)    Transparansi.
b)    Akuntabilitas
3)    Pelayanan public yang dimaksud adalah Instansi atau lembaga Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang memberikan pelayanan dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini dikhususkan pada dinas atau aparatur pemerintah terendah seperti RT/RW/Kelurahan.
4)    Pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan publik bidang kependudukan yang meliputi pembuatan akta kelahiran, akta nikah, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, pembuatan surat-surat perizinan, akta kematian, dan lain-lain.
            Untuk mengukur tingkat keberhasilan pemerintah dalam pelayanan masyarakat maka kita harus mengetahui tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah, maka digunakan pedoman-pedoman sebagai berikut :
1.      Tingkat  Kepuasan Masyarakat   adalah  data dan  informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan  membandingkan  antara  harapan  dan kebutuhannya.
2.      Penyelenggara pelayanan publik  adalah  instansi pemerintah.
3.      Instansi Pemerintah  adalah  Instansi  Pemerintah Daerah termasuk kantor kecamatan dan kelurahan.
4.      Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan  penerima pelayanan, maupun dalam rangka  pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5.      Unit pelayanan publik adalah unit kerja/kantor pelayanan pada instansi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan pelayanan kepada penerima pelayanan seperti RT/RW.
6.      Pemberi pelayanan publik  adalah  pegawai  instansi pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7.      Penerima pelayanan publik  adalah orang, masyarakat, lembaga instansi pemerintah dan dunia usaha, yang  menerima  pelayanan  dari aparatur  penyelenggara pelayanan publik.
8.      Kepuasan pelayanan adalah hasil pendapat dan penilaian  masyarakat terhadap kinerja pelayanan yang diberikan oleh aparatur penyelenggara pelayanan publik.
9.      Biaya pelayanan publik adalah segala biaya (dengan nama atau sebutan apapun) sebagai imbal jasa atas pemberian pelayanan publik, yang besaran dan tatacara pembayarannya ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
10.      Unsur pelayanan adalah faktor atau aspek yang terdapat dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat sebagai variabel penyusunan tingkat kepuasan masyarakat untuk mengetahui aspirasi dan harapan masyarakat dalam pelayanan agar segala aktivitasnya dapat berjalan lancar.
11.      Responden adalah penerima pelayanan publik yang pada saat pencacahan sedang berada di lokasi unit pelayanan, atau yang pernah menerima pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan.
VI.        Sistimatika Penulisan  
BAGIAN PERSIAPAN
          Halaman Judul
          Halaman Persetujuan
          Kata Pengantar
          Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Bagan
            BAGIAN UTAMA
BAB I              Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Penelitian
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat Penelitian
BAB II             TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA  KONSEPTUAL DAN    HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.2. Kerangka Konseptual
2.3. Hipotesis
BAB III            METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
3.2. Tipe Penelitian
3.3. Populasi dan Sampel
3.4. Teknik Sampling
3.5. Sumber Data
3.6. Teknik Pengumpulan Data
3.7. Analisis Data
3.8. Defenisi Operasional
BAB IV           HASIL
BAB V                        PEMBAHASAN
BAB VI           KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAGIAN AKHIR
KEPUSTAKAAN
LAMPIRAN
VII.        Jadwal dan Tahap Pelaksanaan Penelitian
(Terlampir)
VIII.        Rencana Anggaran
(Terlampir)







DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen IV)
Undang-undang 32 2004 tentang pemerintahan daerah
Silalahi, Ulber, 2010, Metode Penelitian Sosial, Refika Aditama, Bandung.
Bungin, Burhan, M., 2010, Metode Penelitian kuantitatif, Kencana : Jakarta.
Dwiyanto, Agus, 2006, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gajah Madah University Press : Yogyakarta.
Albrow, Martin, 1989, Birokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Syafiie, Kencana Inu, 2004, Birokrasi Pemerintahan Indonesia, C.V.Mandar Maju, Bandung.
Budiarjo, Miriam. 1977. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
-----------------------.1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta : Gramedia.
------------------------.1985. Demokrasi di Indonesia (Kumpulan Karangan), Jakarta :Gramedia.
Gaffar, Afan. 2000. Politik Indonesia (Transisi Menuju Demokrasi). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Mohadir, Noeng. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin.
Singarimbun, Masri & Efendi Sofian. 1985. Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta Gramedia : Widia Sarana Indonesia.
Rais, Amien. 1997. Membangun Politik Adi Luhung. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Rodee, dkk. 2004. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : Rajawali Pers.


 Created By :Tim Peneletian Goverment 2008 Unhas